Rabu, 19 Oktober 2011

Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Seperti kebanyakan orang ketahui bahwa selain adanya hukum nasional yang mengatur dan berlaku di suatu negara juga terdapat hukum lain yang lebih tinggi yang mengatur hubungan antara negara-negara di dunia maupun subjek hukum lainnya. Adanya hukum internasional dan hukum nasional ini juga menjadi pokok bahasan yang menarik untuk di bahas yang mana dalam kaitan antar keduanya. Pertanyaan yang timbul tentang keberadaan kedua hukum tersebut apakah keduanya terpisah dan dapat dikatakan berdiri sendiri-sendiri atau keduanya merupakan bagian dari suatu sub sistem yang lebih besar yaitu tatanan sistem hukum yang lebih besar lagi.
Hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional masih menarik, karena selalu ada perkembangan saling mempengaruhi antara keduanya dan terkadang saling bertentangan dalam beberapa kaedahnya. Ketika sebagian akademisi masih mempertanyakan status hukum internasional dalam hukum nasional, di saat yang sama hukum internasional telah benar-benar nyata dan mampu mempengaruhi tatanan hukum nasional dalam semua aspek. Sebagaimana dibahas di atas bahwa dilihat dari pembentukannya ada perbedaan yang jelas antara hukum internasional dengan hukum nasional (State Law/al Qonun al Dakhily), yang tentunya skala penerapannya juga berbeda. Apakah hukum internasional mempunyai kekuatan memaksa sebagaimana hukum nasional juga sudah dibahas secara teoretis di atas. Namun, jika sebuah negara sebagai personalitas internasional mengakui kaedah tertentu dalam hukum internasional dan berkehendak untuk menaatinya, apakah dengan begitu secara serta merta kaedah internasional dapat diterapkan di dalam hukum nasional?
Dengan adanya dua hukum yang berperan penting dalam pengatuan tatanan kehidupan individu ataupun negara akan melahirkan suatu kombinasi hukum dalam penyelesaian masalah-masalah baik masalah kenegaraan maupun individu atau subyek hukum yang lainya. Munculnya suatu masalah atau fenomena yang menyulitkan hukum internasional ataupun hukum nasional mengatasinya akan mempersulit untuk penegakan hukum dalam menentukan hukum mana yang didahulukan mengingat berlakunya hukum internasional tersebut tidaklah mutlak dan harus menyesuaikan dengan hukum nasional dalam suatu negara tertentu.
Persoalan tempat atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian dari pada hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang efektif yang benar-benar hidup di dalam kenyataan dan karenanya mempunyai hubungan yang efektif pula dengan ketentuan-ketentuan atau bidang-bidang hukum lainnya, di antaranya yang paling penting adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masing-masing lingkungan kebangsaannya yang dikenal dengan nama hukum nasional. Karena pentingnya hukum nasional masing-masing negara dalam konstelasi politik dunia dewasa ini dengan sendirinya pula persoalan bagaimanakah hubungan antar berbagai hukum nasional itu dengan hukum internasional.
1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah, diantaranya :
1.2.1        Bagaimana hubungan hukum internasional dengan hukum nasional?
1.2.2        Bagaimana penerapan hukum internasional ditingkat nasional?






BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
Tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua teori yang utama. Yakni teori monoisme dan dualisme. Teori monoisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem hukum. Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu secara perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat individu secara kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan. Teori dualisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya. (Sugeng Istanto, 1994 : 8)
Selain teori monoisme dan dualisme diatas terdapat juga teori koordinasi yang bisa dikatakan sebagai  kelompok moderat. Teori ini beranggapan apabila hukum internasional memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum tersebut memiliki keutamaan di wilayah kerjanya masing – masing. Kelompok ini beranggapan hukum internasional dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan terdapat masalah pengutamaan. Masing – masing berlaku dalam eranya sendiri. Oleh karena itu tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara hukum internasional atau hukum nasional. Anzilotti berpahaman bahwa hukum nasional ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat antar Negara ditujukan untuk dihormati. Pemahaman anzilotti ini pada saat ini sangat diragukan. Karena jika hukum internasional hanya didasarkan pada persetujuan, sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta sunt servanda, maka persoalan – persoalan yang bersama dan mendesak seperti perlindungan terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu. Dengan demikiann, perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok dualisme tersebut diatas untuk kurun waktu sekarang ini sudah tidak relevan lagi. Hal ini disebatkan karena sudah terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat mendasar atas struktur masyarakat internasional maupun hukum internasional itu sendiri.  (Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar 2006 : 82)  
Berbicara mengenai hal hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat dua aspek yang perlu dibahas, yaitu yang pertama adalah aspek teoritis dan aspek praktis. Pada aspek teoritis negara dapat menganut salah satu dari dua paham baik teori dualisme atau monisme. pada hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional. Paham dualisme adalah perpanjangan tangan dari positivisme klasik yang malandaskan kaedah hukum internasional atas dasar kehendak mutlak negara sebagai personalitas internasional. Dualisme memandang bahwa sistem hukum internasional sama sekali terpisah dari sistem hukum nasional, keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Ada dua perbedaan fundamental dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu; Subyek hukum, subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek hukum internasional adalah negara-negara. Sumber hukum, sumber hukum nasional adalah kehendak negara tersebut secara mutlak yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara dan harus ditaati, sedangkan sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari negara-negara yang mempunyai kekuatan menaati atau menolak yang sama, dan dilandaskan atas norma Pacta Sunt Servanda.
Lembaga peradilan negara tidak dapat menjadikan hukum internasional sebagai sumber materil di pengadilan nasional, kecuali kaedah internasional tersebut telah melewati proses transformasi, dan begitu juga sebaliknya. Walaupun terdapat perbedaan fundamental antara kedua kaedah hukum, bukan berarti tidak ada sinkronisasi dalam tatanan praktis. Contoh, aturan internasional tentang Warga Negara Asing yang terdapat pada perjanjian internasional memerlukan instrumen nasional pada pelaksanaanya melalui aturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara.
Paham kedua, paham monisme. Penganut monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaedah-kaedah hukum mengikat, baik mengikat negara-negara, individu-individu atau kesatuan lain yang juga merupakan personalitas internasional. sebagai penganut monisme berpendapat bahwa kaedah hukum baik itu internasional maupun nasional lahir melalui hipotesa-hipotesa yang saling berkaitan antara satu dan lainnya, dan merupakan satu kesatuan walaupun hipotesa tersebut masih dalam tatanan abstrak. Dari hipotesa tersebut akan muncul sebuah struktur hukum yang bersifat universal, yang mengikat segenap individu baik itu sebagai hukum internasional maupun sebagai hukum nasional.
Paham kesatuan kaedah antara hukum internasional dengan hukum nasional yang dianut paham monisme menuntut adanya pembagian tingkat preferensi antara kedua sistem hukum tersebut. Kelsen berpendapat bahwa masalah primat hukum harus terlebih dulu melewati proses analisis struktural, suatu analisa yang dilakukan terhadap prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah yang pada akhirnya mencapai pada satu norma fundamental tertinggi yang bisa saja terdapat pada hukum internasional atau pada hukum nasional. Sistem hukum yang mengandung norma tertinggi itulah yang patut mendapat preferensi. Tetapi pada tatanan praktisnya pendapat Kelsen ini dirasa terlalu abstrak dan tidak efisien. Primat hukum internasional di atas hukum nasional: tingkat preferensi diberikan kepada kaedah hukum internasional karena hukum internasional yang mengatur kewenangan negara-negara, dan ketika Negara mengatur permasalahan internal saat itu hukum internasional sedang memberikan mandat kepada negara untuk mengaturnya. Negara sebagai personalitas internasional mengalami perubahan sistem hukum ketika terjadi perubahan konstitusi atau revolusi, sedangkan hukum internasional tidak akan berubah sistem hukumnya walaupun terjadi perubahan konstitusi dalam negeri. Hukum internasional mengikat negara-negara baru dengan atau tanpa persetujuan dari negara bersangkutan, maka primat hukum dalam hal ini harus diberikan kepada hukum internasional.
Sebagian berpendapat bahwa tidak secara keseluruhan preferensi diberikan kepada hukum internasional, karena dilihat dari sejarahnya hukum internasional merupakan cabang ilmu baru setelah adanya hukum nasional. Penganut primat hukum internasional mencoba menjawab bahwa mata rantai yang menghubungkan hukum internasional dengan hukum nasional bukan mata rantai sejarah, namun mata rantai teknis dan secara teknis hukum internasional mempunyai kewenangan lebih tinggi dari pada hukum nasional. Primat hukum nasional di atas hukum internasional: primat ini didukung oleh penganut paham monisme, menurutnya hukum internasional tidak lain adalah hanya perpanjangan tangan dari hukum nasional, karena hukum internasional terbentuk atas dasar kehendak negara, secara tidak langsung hukum internasional tunduk kepada yang membentuknya, Negara. Hukum tertinggi Negara adalah konstitusi maka, konstitusi mempunyai preferensi lebih dari pada hukum internasional. Kritik yang ditujukan pada pandangan ini adalah, mengesampingkan kaedah-kaedah hukum internasional yang tidak berasal perjanjian internasional melainkan dari tatakrama internasional, yang membentuk opini publik internasional untuk taat terhadap kaedah tertentu sebelum negara tersebut melahirkan kehendaknya. Bahkan, cukup berlebihan jika hukum internasional harus menyesuaikan dengan kaedah hukum nasional. Dalam beberapa kasus, pengadilan internasional telah memutuskan preferensi hukum internasional atas hukum nasional. Mayoritas negara-negara dunia baik secara eksplisit maupun implisit menganut paham monisme dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional, ada keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional dan kaedah hukum nasional seyogyanya selaras dengan kaedah hukum internasional. (http://fsqcairo.blogspot.com/2010/03/prolog-pembahasan-tentang-hubungan.html).
h   Perbedaan antara hukum internasional dengan hukum nasional
Disamping memiliki hubungan satu sama lain hukum internasional dan hukum nasional juga memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan – perbedaan  yang krusial antara hukum nasional dengan hukum internasional, pertama adalah objek pengaturan dari kedua sistem hukum itu sendiri terdapat perbedaan. Hukum internasional memiliki negra sebagai objek utama dari pengaturan. Sedangkan hukum nasional lebih menekankan pada pengaturan hubungan antar individu dengan individu dan Negara dalam wilayah jurisdiksi dari masing – masing Negara. Akan tetapi, pengertian ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya tumpang tindih mengingat pada perkembangan selanjutnya hukum internasional, sesuai dengan hakikatnya, ‘supreme’ dibanding hukum HAM internasional. Dalam hukum HAM internasional, Negara dibawah pengawasan organ – organ traktat missal the human rights committee, sebagai organ dengan fungsi quasy-judicial dari konvensi internasional tentang Hak-hak sipil dan politik, internasional Conenant Law Civil and Political Right ( ICCPR)
Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model atau bentuk hukum yang sama sekli berbeda. Apabila digunakan pengertian mengenai hukum dari sudut pandang hukum nasional untuk menjelaskan hukum internasional, dapat berakhir pada peniadaan eksistensi hukum internasional. Hukum internasional tidak memiliki badan-badan seperti legislative, eksekutif dan yudikatif sebagaimna halnya dalam hukum nasional. Meskipun terdapat majelis umum PBB yang sering berlaku sebagai badan legislative tidak dapat dianalogikan sebagai parlement ataupun ICJ, dianalogikan sebagai lembagayudikaif,. ICJ hanya menangani kasus yang dserahkan oleh Negara melalui kesepakatan, yang tertuang dalam compromis, pernyataan para pihak bersengketa untuk mengakui kopetensi dari ICJ. Oleh karena itu jelaslah bahwa kedua hukum tersebut memiliki perbedan yang substansial. Dan terakhir, perbedaan yang sangat menonjol dapat dibuktikan melalui prinsif-prinsif hukum internasional yang sangat mendasarkan pada prinsif persamaan subjek Negara sebagai dasar terbentuknya hukum .( Jawahir dan Pranoto, 2006,78). Seperti yang dapayt dilihat dalam proses pembentukan huku kebiasaan atau traktat, yang menuntut supaya terdapatnya persetujuan dari Negara-negara atas dasar persamaan. Hal mana prinsif ini tidak begitu menonjol dalam hukum nasional yang serba tersentralisir.
Oleh karena itu, Lauterpacht menegaskan hukum nasional yaitu suatu hukum yang berdaulat atas subjek individu, sedangkan hukum  bangsa-bangsa merupakan suatu hukum yang berada di bawah, melainkan hukum yang berdaulat antara Negara-negara, dan oleh karena itu hukum ini lebih lemah ( International Law is a law of sovereign over individual subjected to his sway, the law of nation is a law not above, but between, sovereign, and is therefore a weaker law) . ( Jawahir dan Pranoto, 2006, 79)
Pengutamaan Hukum Internasional Atau Hukum Nasional
Kelsen, dengan menggunakan doktrin hierarkinya menyatakan bahwa hukum internasional harus diutamakan bila postulat fundamental yang bertentangan itu termasuk hukum internasional. Sebaliknya apabila postulat fundamental hal yang bertentangan itu termasuk hukum nasional maka hukum nasionalah yang harus diutamakan. Teori hierarkinya kelsen menyatakan bahwa ketentuan hukum berlaku dan mengikat berdasarkan ketentuan hukum atau prinsif hukum lain yang lebih tinggi yang akhirnya berdasarkan postulat fundamental. Postulat fundamental ini dapat merupakan bagian dari hukum internasional atau dapat pula merupakan bagian dari hukum nasional.
Starke, yang juga menganut monoisme, tidak menyetujuai pengutamaan hukum nasional terhadap hukum internasional berdasrakan pada dua alasan yaitu : pemberian pengutamaan kepada hukum nasional (negara) yang jumlahnya lebih dari 150 di dunia akan menimbulkan anarkhi. Disamping itu, pengutamaan hukum nasional terhadap hukum internasional akan mengakibatkan ketergantungan berlakunya hukum internasional pada hukum nasional. Dengan kata lain, bila hukum nasional berubah hukum internasional akan menjadi berubah pula. Pendapat itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hukum internasional berlaku tanpa tergantung pada hukum nasioanal. Konferensi London tahun 1831 menetapkan bahwa perjanjian internasional tetap berlaku bagi negara pihak meskipun terjadi perubahan intern di negara tersebut. Strake berpendapat bahwa dalam hal terdapat pertentangan hukum internasional dan hukum nasional, hukum internasional mendapat pengutamaan. Starke membandingkan  hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional itu seperti halnya hubungan antara hukum negara federal dengan negara bagiaannya. Dalam negara federal, negara bagian bebas menetapkan hukumnya sendiri tetapi dibatasi oleh konstitusi federal. Demikian juga halnya dalam masyarakat internasional, negara berdaulat menetapkan hukum negaranya, tetapi kedaulatannya dibatasi oleh hukum internasional. Starke mengatakan bahwa tidak semua ketentuan hukum internasional harus diutamakan terhadap hukum nasional. Hanya hukum konstitusi internasional yang mendapat pengutamaan terhadap hukum nasional.
Sehubungan dengan hubungan pengutamaan antara hukum internasional dan hukum nasional, dewasa ini dikenal juga konsep “concept of opposability”. Konsep ini menyatakan bahwa ketentuan hukum nasional, yang sesuai dengan hukum internasional, secara sah dapat digunakan untuk menolak ketentuan hukum internasional, yang digunakan negara lain sebagai dasar tuntutan diperadilan internasional. Dengan demikian, hukum nasional suatu negara dapat juga diutamakan berlakunya terhadap hukum internasional.

2.2 Penerapan hukum internasional ditingkat nasional
            Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu Negara terkait dengan doktrin ‘inkorporasi’ dan doktrin ‘transformasi’. Doktrin inkorporasi menyatakan bahwa hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional. Dalam hal suatu Negara menandatangani dan meratifikasi traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap para warga Negara tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu. Contoh seperti amerika serikat, inggris, kanada, Australia dan Negara – Negara lainnya.
            Sedangkan doktrin terakhir menyatakan sebaliknya  tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya ‘transformasi’ yang berupa pernyataan terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam yang berupaya pernyataan terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam kata lain, traktat dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum dilakukannya ‘transformasi’ ke dalam hukum nasional.
            Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional merupkan bagian yang secara otomatis menyatu dengan hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori monoisme yang tidak memisahkan antara kedua system hukum nasional dan system hukum internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari Negara yang bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori dualisme, mendapatkan contohnya di Negara – Negara asia tenggara, termasuk juga di Indonesia.

Indonesia
            Di Indonesia pemerintah secara terang – terangan mengakui akan pentingnya hukum internasional. Sehingga tidak perlu kiranya untuk membahas mengenai alasan mengapa hukum internasional dapat mengikat Negara – Negara baru, yang pada umumnya merupakan akibat dari proses dekolonisasi.

1.      Hukum Kebiasaan Internasional
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum menampakkan adanya sikap yang tegas. Namun, untuk beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan yang berlaku di laut, seperti tentang hak lintas damai bagi kapal – kapal asing di laut teritorial Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal – kapal asing, terutama sekali setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan.
      Selain itu Indonesia juga pernah mengsampingkan kaedah hukum kebiasaan internasional, dalam penerapan lebar laut territorial. Menurut hukum kebiasaan internasional lama, lebar laut territorial Negara – Negara adalah sejauh 3 (tiga) mil, diukur dari garis pangkal normal. Hukum kebiasaan internasional ini juga diterima sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia yaitu dalam Undang – Undang peninggalan jaman belanda yang terkenal dengan sebutan teritoriale zee en maritieme kringen ordonantie (stb. 1939 Nomor 442). Ini masih berlaku alam kemerdekaan Indonesia melalui pasal 2 aturan peralihan undang-undang dasar 1945. Dalam stb tersebut diterapkan lebar laut territorial hindia belanda sejauh 3mil laut diukur dari garis pangkal normal. Sampai disini dapat dikemukakan bahwa terdapat kesesuaian antara kaedah hukum kebiasaan internasionl mengenal lebar laut territorial dengan hukum atau undang-undang Indonesia mengenai hal yang sama.
      Akan tetapi, pada tanggal 13 desember 1957 indonesia secara sepihak mengklaim lebar leut territorial 12 mil laut berdasarkan penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Konsekuensinya, Stb Tahun 1939 nomor 442 tersebut sepanjang menyangkut lebar laut territorial dan system penarikan garis pangkal normal dinyatakan tidak berlaku. Tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih mengutamakan undang – undang atau hukum nasionalnya walaupun undang – undang nasionalnya itu lahir belakangan dibandingkan dengan hukum kebiasaan internasional tersebut.
2.      Hukum Perjanjian Internasional
Beda halnya dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional. Dalam prakteknya, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dipengaruhi oleh beberapa sebab. Pertama, perubahan sistem pemerintahan yang pernah berlaku dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia praktek Indonesia belumlah begitu jelas. Karena pada masa itu (antara tahun 1945-1950) Indonesia masih dalam taraf mempertahankan diri dan eksistensinya, terhadap ancaman dan serangan dari pihak luar maupuhn serangan dari dalam negeri. Dalam kondisi demikian, Indonesia tidak mudah untuk menata kehidupan ketatanegaraan dan konstitusinya secara baik dan normal.
Kedua, perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat  ( 27 desember1949- 17 agustus 1950 dan pada masa berllakunya UUDS RI tahun 1950- 1959 praktek Indonesia menunjukan kecenderungan yang ketat terhadap masuknya perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia. Adapun pada masa berlakunya kembali UUD 1945, sebagai landasan yuridis bagi berlakunya suatu perjanjian internasional didalam hukum nasional Indonesia. Pada pasal 11 UUD 1945 setelah amandemen, yang berbunyi sebagai berikut, ‘ presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat  menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian denga Negara lain’. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam hubungan luar negeri, tampaknya jauh lebih terjamin dalam ketentuan pasal 11,12, UUD 1945 sbelum di amandemen.
Dalam hubungan ini yang paling penting untuk diketahui adalah yang berkenaan dengan pembuatan perjanjian dengan Negara lain. Pembuatan perjanjian tersebut menyangkut Indonesia dan Negara lain yang nantinya perjanjian itu akan mengikat bagi kedua pihak dan akan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Akan tetapi, hanya dengan membaca pasal 11 itu saja, masalah yang menjadi pokok bahasan ini belumlah begitu jelas. Bahkan, pasal 11 itu sendiri masih menimblkan berbagai masalah yang membutuhkan jawaban yang tegas.
Pasal 11 UUD 1945 perubahan keempat menyatakan
(i)                 presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(ii)               Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(iii)             Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur oleh undang-undang.




BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua teori yang utama. Yakni teori monoisme dan dualisme. Teori monoisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem hukum. Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu secara perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat individu secara kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan. Teori dualisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya.
Selain teori monoisme dan dualisme diatas terdapat juga teori koordinasi yang bisa dikatakan sebagai  kelompok moderat. Teori ini beranggapan apabila hukum internasional memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum tersebut memiliki keutamaan di wilayah kerjanya masing – masing. Kelompok ini beranggapan hukum internasional dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan terdapat masalah pengutamaan. Masing – masing berlaku dalam eranya sendiri. Oleh karena itu tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara hukum internasional atau hukum nasional. Anzilotti berpahaman bahwa hukum nasional ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat antar Negara ditujukan untuk dihormati. Pemahaman anzilotti ini pada saat ini sangat diragukan. Karena jika hukum internasional hanya didasarkan pada persetujuan, sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta sunt servanda, maka persoalan – persoalan yang bersama dan mendesak seperti perlindungan terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu. Dengan demikiann, perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok dualisme tersebut diatas untuk kurun waktu sekarang ini sudah tidak relevan lagi. Hal ini disebatkan karena sudah terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat mendasar atas struktur masyarakat internasional maupun hukum internasional itu sendiri.  
Disamping memiliki hubungan satu sama lain hukum internasional dan hukum nasional juga memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan – perbedaan  yang krusial antara hukum nasional dengan hukum internasional, pertama adalah objek pengaturan dari kedua system hukum itu sendiri terdapat perbedaan. Hukum internasional memiliki negra sebagai objek utama dari pengaturan. Sedangkan hukum nasional lebih menekankan pada pengaturan hubungan antar individu dengan individu dan Negara dalam wilayah jurisdiksi dari masing – masing Negara.
       Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model atau bentuk hukum yang sama sekli berbeda. Apabila digunakan pengertisn mengenai hukum dari sudut pandang hukum nasional untuk menjelaskan hukum internasional, dapat berakhir pada peniadaan eksistensi hukum internasional. Hukum internasional tidak memiliki badan-badan seperti legislative, eksekutif dan yudikatif sebagaimna halnya dalam hukum nasional.

          Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu Negara terkait dengan doktrin ‘inkorporasi’ dan doktrin ‘transformasi’. Doktrin inkorporasi menyatakan bahwa hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional.
Sedangkan doktrin terakhir menyatakan sebaliknya  tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya ‘transformasi’ yang berupa pernyataan terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan.
Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional merupkan bagian yang secara otomatis menyatu dengan hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori monoisme yang tidak memisahkan antara kedua system hukum nasional dan system hukum internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari Negara yang bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori dualisme, mendapatkan contohnya di Negara – Negara asia tenggara, termasuk juga di Indonesia.
Di Indonesia pemerintah secara terang – terangan mengakui akan pentingnya hukum internasional. Sehingga tidak perlu kiranya untuk membahas mengenai alasan mengapa hukum internasional dapat mengikat Negara – Negara baru, yang pada umumnya merupakan akibat dari proses dekolonisasi.

Hukum Kebiasaan Internasional
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum menampakkan adanya sikap yang tegas. Namun, untuk beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan yang berlaku di laut, seperti tentang hak lintas damai bagi kapal – kapal asing di laut teritorial Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal – kapal asing, terutama sekali setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Hukum Perjanjian Internasional
Beda halnya dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional. Dalam prakteknya, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dipengaruhi oleh beberapa sebab. Pertama, perubahan sistem pemerintahan yang pernah berlaku dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia praktek Indonesia belumlah begitu jelas. Karena pada masa itu (antara tahun 1945-1950) Indonesia masih dalam taraf mempertahankan diri dan eksistensinya, terhadap ancaman dan serangan dari pihak luar maupuhn serangan dari dalam negeri. Dalam kondisi demikian, Indonesia tidak mudah untuk menata kehidupan ketatanegaraan dan konstitusinya secara baik dan normal.
Kedua, perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat  ( 27 desember1949- 17 agustus 1950 dan pada masa berllakunya UUDS RI tahun 1950- 1959 praktek Indonesia menunjukan kecenderungan yang ketat terhadap masuknya perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia. Adapun pada masa berlakunya kembali UUD 1945, sebagai landasan yuridis bagi berlakunya suatu perjanjian internasional didalam hukum nasional Indonesia. Pada pasal 11 UUD 1945 setelah amandemen, yang berbunyi sebagai berikut, ‘ presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat  menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian denga Negara lain’. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam hubungan luar negeri, tampaknya jauh lebih terjamin dalam ketentuan pasal 11,12, UUD 1945 sbelum di amandemen.













DAFTAR PUSTAKA

Istanto, Sugeng, 1994, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Thontowi, Jawahir, Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontenporer, Aditama, Yogyakarta.
R. Adi Yulianto, dalam : http://fsqcairo.blogspot.com/2010/03/prolog-pembahasan-tentang-hubungan.html  (Diaksees pada tanggal 2 oktober 2011)

Rabu, 21 September 2011

Bad Religion : History



Bad Religion adalah sebuah band beraliran punk yang dibentuk pada tahun 1980 di Southern California. Para personilnya yang cukup berpendidikan berhasil membuat band ini menjadi sebuah fenomena yang cukup berpengaruh dengan memainkan lagu-lagu beraliran punk dengan beat khas punck rock yang cepat namun melodius dengan lirik-lirik kritis yang berkisar masalah-masalah sosial, politik dan agama. Struktur kalimat-kalimat dalam lyric yang variatif dan elaboratif dipadukan dengan gaya bahasa yang puitis dan vocabulary yang bahkan memaksa orang Amerika sendiri untuk membuka kamus, membuat band ini unik dan cepat memperoleh simpatisan yang cukup banyak ketika mereka mengeluarkan album pertama mereka pada 1981 di daerah Southern California. Band ini beranggotakan Greg Graffin, vocal , Jay Bentley, Bas/backing vocal , Jay Ziskrout, drums , and Brett Gurewitz, guitar/backing vocals atau lebih dikenal sebagai Mr.Brett. Setelah peluncuran EP pertama dengan label Epitaph Records milik Mr.Brett yang juga merangkap sebagai manager band, pada tahun 1982, band yang baru menyelesaikan sekolah setingkat SMU ini meluncurkan album full berjudul “How Could Hell Any Worse?”. Namun, di tengah pengerjaan album ini, Jay Ziskrout mengundurkan diri dari band dan posisinya digantikan oleh Peter Finestone.

greg graffin, frontman dari band ini menyandang gelar Master di bidang geologi dari UCLA dan meraih gelar Ph.D dalam bidang zoology dari Cornell University. Disertasi Greg Graffin untuk Cornell University adalah sebuah studi komprehensif tentang ilmu pengetahuan yang dititikberatkan pada teori Darwin yang kontroversial karena berkaitan dengan masalah ketuhanan dan agama dan bagaimana teori tersebut mempengaruhi cara berpikir pada seseorang. Disertasi ini dipublikasikan dan didedikasikan untuk para fans Bad Religion.

Album

Pada tahun 1983, band meluncurkan album “Into The Unknown”, sebuah album yang pada awalnya tidak begitu populer dan tidak begitu disukai oleh para penggemarnya. Karena dalam album ini , band dianggap terlalu jauh mengeksplorasi musiknya hingga album ini dinilai terlalu eksperimental karena menggunakan keyboard terlalu dominan. Bahkan para pengamat musik mengatakan bahwa band ini tidak terkategorikan sebagai musik punk lagi, tapi psychedelic rock. Pada saat itu, album ini tidak menghasilkan apa-apa selain kritik dari para fans. Tapi sekarang, album ini mulai dicari oleh para kolektor album Bad Religion. Album ini banyak dibajak karena jumlahnya yang sedikit. Pada tahun 1984, Greg Hetson dari Circle Jerks masuk dan menggantikan posisi Mr.Brett. Bad Religion pun merilis EP dengan judul “Back To The Known”. Dengan beat lagu yang semakin lambat, band kehilangan jati diri mereka dan band ini sempat vakum jika tidak disebut bubar.

Pada tahun 1986, band bersatu kembali dan meluncurkan album “Suffer” dan mereka kembali dalam format band punk seperti sebelumnya. Album inilah yang menjadi titik balik kebangkitan band ini. Album ini dinilai sebagai album terbaik oleh majalah maximum rock’n roll karena seolah mengingatkan para fans pada Bad Religion di awal-awal pembentukannya yang memainkan lagu-lagu dengan beat cepat, distorsi yang menghentak dan lirik yang keras disertai vokal yang melodius. Album ini sekaligus menjadi pemicu berkembangnya budaya dan sub kultur punk di Southern California karena album ini akhirnya menjadi genre wajib yang diikuti oleh hampir semua band punk dari Southern California, misalnya : Rancid, The Offspring, dan lain-lain.

Album “No Control” yang dirilis pada tahun 1989 dan “Against The Grain” tahun 1990 dan diikuti album “Generator” pada tahun 1992 juga mendapat predikat album rock terbaik dan semakin mendongkrak popularitas band ini, khususnya di Amerika bagian timur/east coast (New York, Washington, etc). Sebelum album “Generator” selesai dirilis, tahun 1991, Peter Finestone mengundurkan diri untuk lebih memfokuskan diri pada band-nya yang lain, The Fishermen, dan posisinya digantikan oleh Bobby Schayer.

Dengan gaya dan aransemen musik yang semakin matang dan menentang trend aliran musik heavy metal dan progressive rock saat itu, Bad Religion hengkang dari Epitaph Records dan bergabung dengan Atlantic Records dan tak lama setelah itu mereka segera merilis album full mereka yang ketujuh, “Recipe For Hate” pada pertengahan tahun 1993 yang sebenarnya lebih merupakan penjualan hak rilis album itu oleh Epitaph Records kepada Atlantic Records. Pada tahun 1994, “Stranger Than Fiction” dirilis, tapi Mr.Brett segera mengundurkan diri saat album itu selesai. Mr.Brett memutuskan untuk mengundurkan diri karena disibukkan oleh The Offspring yang saat itu mengukir sejarah sebagai band dengan penjualan kaset terbanyak di dunia musik underground dan direkomendasikan untuk masuk ke dalam major label oleh Mr.Brett. Namun. konon perginya Mr. Brett dari Bad Religion lebih disebabkan oleh ketidakcocokan dan pertengkaran yang hebat dengan basist Jay Bentley. Bahkan, Mr. Brett membentuk band baru yang salah satu lagunya “Hate You” didedikasikan pada Jay untuk menumpahkan kebenciannya. Banyak fans setia Bad Religion yang menyesali hengkangnya Mr. Brett, yang berdua dengan Gregg Graffin, dipandang sebagai penulis lirik punk rock yang sangat berbakat, kalau tidak bisa dibilang terbaik di dunia dalam genre-nya.

Mr. Brett pun kemudian fokus untuk membesarkan perusahaan rekamannya Epitaph yang akhirnya sekarang menjadi perusahaan label indie terbesar di dunia yang menjadi rumah bagi mayoritas band-band punk rock, hardcore, serta band-band rap dan hip-hop yang penuh bakat. Band-band besar yang dibesarkan oleh Epitaph antara lain Rancid, NOFX, Offspring, Descendent, dan Millencolin. Sementara band-band baru yang penuh bakat di antaranya Sage Francis (rap hip-hop) dan The Higher (pop rock).

Sepeninggal Mr. Brett, Bad Religion terus berkarya dimotori oleh Gregg Graffin seorang. Band merekrut gitaris baru yang tak kalah legendaris dalam dunia punk rock sebagai pengganti Mr Brett, yaitu Brian Baker (pernah bergabung dengan band punk legendaris “Minor Threat”). Album “The Gray Race” (1996), album pertama band ini tanpa Mr. Brett, berhasil menghapus kekhawatiran para penggemar bahwa musik Bad Religion akan kehilangan kualitas. Album tersebut benar-benar tetap setia pada citra band yang cepat, menghentak, dengan vokal penuh melodi serta lyric yang kritis. Graffin menulis sendiri semua lyric dan nada semua alat instrumen dalam lagu tersebut, dibantu dengan beberapa aransemen gitar dari Baker. Namun pada album-album berikutnya, Graffin tampak kehilangan sentuhannya. “No Substance” (1998) dipandang sebagai album terburuk oleh mayoritas fans Bad Religion. Padahal dalam album tersebut Graffin berusaha melibatkan anggota band lainnya dalam penulisan lagu. Tampak sekali bahwa tanpa Mr. Brett, Graffin kehilangan seorang “soul mate” yang bisa saling mendukung dan berkompetisi, dalam arti positif, untuk membuat lagi lagu-lagu punk rock yang bisa disandingkan sejajar dengan lagu-lagu legendaris khas Bad Religion sebelumnya seperti, “Do What You Want” (Album Suffer, 1988), “Along the way” (Back to the Known, 1984), dan “American Jesus” (Recipe for Hate, 1993).

Dalam meluncurkan album ketiganya “The New America” (2000} untuk Atlantic Records, Graffin mulai mendekati kembali Mr. Brett. Dan Mr. Brett bersedia berkolaborasi dengan Graffin untuk menulis lagu berjudul “Believe it” dalam album tersebut. Mr. Brett juga memainkan melodi gitar untuk lagu itu. Album tersebut merupakan sejarah bagi Bad Religion dan fansnya karena menandakan reunifikasi kembali Mr. Brett dengan Bad Religion, band yang ia dirikan bersama dengan Gregg Graffin dan Jay Bentley. Selama pembuatan album, secara alami muncul keinginan dalam diri Graffin untuk mengundang Mr. Brett bergabung kembali. Semua anggota band lain mendukung dan ketika undangan disuarakan, Mr Brett dengan mantap mengiyakan, dengan syarat Bad Religion harus kembali ke label Epitaph, perusahaan yang pada awalnya didirikan untuk memproduksi dan mendistribusikan album-album Bad Religion. Syarat tersebut tidak sulit dipenuhi karena masa kontrak dengan Atlantic Records sudah akan berakhir dan memang Bad Religion yang dimotori Graffin juga sangat ingin kembali ke Epitaph Records. Fans band tersebut di seluruh dunia sangat gembira dan bersemangat menunggu prospek bersatunya kembali dua penulis lagu punk rock terbaik di dunia, Mr. Brett dan Gregg Graffin serta label Epitaph dengan Bad Religion.

Album “The Process of Belief” (2002) merupakan album pertama Bad Religion untuk Epitaph. Band mempunyai drummer baru yang muda dan berbakat yakni Brooks Wackerman (pernah tergabung dengan Suicidal Tendencies). Bobby Schayer meninggalkan band karena alasan cidera punggung. Namun, dia kecewa karena merasa tidak diberi cukup kesempatan untuk pemulihan. Dengan bergabungnya Wackerman, beat musik Bad Religion lebih cepat dan bertenaga. Energi baru tersebut melengkapi bergabungnya sumber energi utama band yaitu Mr. Brett dan Graffin. Album mereka disambut baik oleh fans dan kritikus. Bad Religion tidak terlena dengan pujian atau lekang oleh usia. Kreasi terus bertumbuh melalui album “Empire Strike First” (2004) dan terakhir “New Maps off Hell” (2007).

Menginjak 27 tahun eksistensinya Bad Religion tetap loyal dan setia pada akar musik yang mereka bentuk dan pada harapan yang tersirat dalam lyric mereka ditengah dunia yang penuh pesimism. Dunia yang diwarnai fanatisme agama, perang, kekerdilan aparat pemerintah, dan mental remaja yang rusak oleh kapitalisme. Bad Religion sejak awal merupakan suara lantang yang memecahkan hiruk pikuk buram tersebut. Suara yang dibagi oleh banyak orang, bukan hanya penggemar punk rock. Itulah yang membuat band ini terus eksis dan melegenda.